Oleh: Harisah adni
Suara Rakyat
Kita semua pasti sering mendengar bahwa anak-anak yang jago matematika adalah anak yang cerdas atau jenius. Dalam lingkungan kita mungkin tidak jarang ada banyak orang yang mengintimidasi anak-anak yang tidak terlalu piawai dalam matemtika. Mereka kerap dianggap bodoh, pemalas, dan sentimen negatif lainnya. Perlakuan seperti ini bahkan kerap dilakoni oleh guru-guru di sekolah bahkan orang tua di rumah yang seharusnya berperan dalam memberi dukungan pada anak.
Kita terbiasa diikat berpuluh-puluh tahun dalam stereotype bahwa anak yang hebat matematika adalah anak cerdas. Sementara anak yang hebat dalam menggambar dibilang cerdas menggambar saja atau bahkan anak yang hebat menulis dibilang cerdas menulis saja. Seakan-akan ada kolerasi antara cerdas matematika dengan kehebatan seorang anak.
Streorype terhadap matematika membentuk kita menjadi manusia yang diskriminatif. Memandang matematika lebih superior dari pada bidang lainnya. Padahal manusia diciptakan dengan kecerdasannya masing-masing. Menurut Howard Gardner dalam penelitiannya, bahwa sebenarnya kecerdasan manusia dibagi menjadi 9 tipe, terdiri dari kecerdasan linguistik, intrapersonal, kinestetik jasmani, interpersonal, eksistensial, logika matematika, musical, naturalis, serta kecerdasan visual dan spasial.
Anak yang piawai dalam bermain musik adalah anak yang cerdas, digolongkan pada kecerdasan musikal. Atau anak yang mampu untuk memahami lingkungannya dengan baik juga termasuk anak yang cerdas, digolongkan pada kecerdasan naturalis. Mereka cerdas pada bidangnya masing-masing. Sekalipun mereka tidak mampu memahami matematika dengan baik.
Setiap anak diciptakan dengan kecerdasannya masing-masing. Semua anak akan bersinar dalam bidangnya masing-masing jika orang tua dan sekolah dapat berperan dengan baik dalam memahami dan mendukung setiap kecerdasan yang dimiliki seorang anak.
Sadarkah kita bahwa steorype ini membawa kita sangat jauh menjadi manusia yang kejam tanpa kita sadari ?
Stereotype ini ternyata manggiring kita untuk berperilaku tidak adil sehingga tidak jarang banyak anak-anak yang kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak berguna bahkan depresi berat pada usia keemasan mereka. Maka jangan heran di masa depan anak-anak korban dari stereotype ini menjadi masalah sosial dilingkungannya. Maka dari itu mari kita bersama- sama melawan stereotype terhadap matematika. Sebab tidak ada bidang yang lebih superior. Semuanya sama.
Coba bayangkan bahwa setiap orang dapat mengasah kecerdasannya masing-masing dengan baik. Ada banyak orang-orang hebat dengan keahliannya masing-masing yang dapat bersinergi dalam membangun negri kita ini dengan sangat baik.
Semoga kedepannya tidak ada anak-anak yang menjadi korban diskriminasi, karena tidak jago matematika bukan berarti bodoh. Dengan membantu mengkampanyekan isu ini, itu berarti kita sudah membantu sepersekian persen negara ini dalam mengurangi masalah sosial.
Ilustrasi Oleh: Fathia Zulfianti
Comments